• RSS

Agustus 27, 2015

Gubukdan Istana "CERPEN"

in CERPEN


GUBUK DAN ISTANA



Di atas pagar beton, berteralikan besi milik tetanggaku, ayam-ayam jagoku bersahut-sahut seirama mengikuti suara alam, seakan menyambut mentari yang baru saja mulai keluar dari balik persembunyianya pagi ini. Akupun tersadar dari mimpiku malam ini, ya..... walaupun terbangunku dengan panggilan sang ibu yang sedari tadi tangan lembutnya menggedor-gedor pintu kamarku. Tega sekali aku, yang benar saja aku terbangunku setelah sepuluh kali ibuku memanggil dan hampir merobohkan pintu kamarku?. Ahh.. kurasa itu cuma alasan ibuku saja, biar aku malu karena setiap hari harus dibangunkan seperti ini.
“Selamat pagi dunia...”
seperti biasa setelah aku membuka mata, dan sebelum aku membuka pintu kamarku. Aku selalu membuka pintu horden jendela kamarku,  ku pandangi rumah tetangga idaman yang terletak tepat disamping kanan rumahku. Ya, rumah yang berpagarkan beton kokoh tinggi menjulang indah, berhiaskan ukiran tangan, berwarna emas dan tiada satu lumutpun menempel disana.
 Pandanganku tidak berhenti disitu, bergeser sedikit, aku melihat pintu gerbang geser cantik berterali besi berwarna senada, yang selalu di tutup setelah mobil verary silver keluar dan masuk ke halaman rumah berukuran seluas rumahku itu. Berkali-kali aku menggelengkan kepala dan menghelekan nafas seirama seakan kagum dengan kenikmatan tuhan yang diberikan kepada tetanggaku ini. kenapa terasa berbeda sekali jika kubandingkan dengan rumahku.
 “bak langit dan bumi”
Itu lah kata yang selalu aku ucap ketika kupandang rumahku. Bagaimana tidak, rumahku hanya berpagarkan kayu hidup, berlantaikan tanah, beratapkan tanah liat, berdindingkan pasir kasar dan bertanamkan hias rumput-rumput teki. “hahaha....... gubuk derita dan istana raja bertempat berdampingan”, ejekku masam.
Di dalam rumah luas bak istana itu, rasanya lengkap sudah kebahagiaan dunia. “Ya Allah, kenapa tidak kau berikan itu semua padaku. Kenapa aku harus tinggal digubuk seperti ini...”keluhku setiap kali ku bangun pagi. Sampai-sampai ibu kerap kali bingung melihat tingkahku. saat ibu bertanya “kenapa?”, ya aku hanya bisa menjawab “karena..hehe.....”. Mana mungkin aku tega jika harus mengatakan nya pada malaikat ku itu, hati lembutnya bisa hancur nantinya.
 Aku hanya bisa memperhatikan keadaan dan situasi di rumah itu, tapi jika aku buka sedikit indra pendengaranku, di istana itu aku hanya mendengar suara gemericik air mancur di halaman, suara televisi, dan suara lambaian pohon-pohon yang tertiup angin, bagaimana tidak, di dalam istana itu hanya berisikan tiga orang penghuni, sang ayah bernama Arifin S.Ag, sang ibu, Siti Aminah S.Pd, dan sang anak laki-laki seusiaku bernama Ihsannul Amri. Aku nyaris tidak pernah masuk kedalam istana itu, sebaliknya malah mereka yang sering datang kerumahku. Sang anak Ihsanul Amri kerap kali datang kerumah, tak ada rasa malu sedikitpun bagiku, berbeda sekali jika teman laki-lakiku yang lain main kerumah, apa lagi jika rumahku sedang seperti kapal pecah, malu ... sekali, rasanya tidak mau keluar dari kamar. Sementara Ihsan, apa yang harus dimalukan dari seorang anak berusia 17 tahun yang bersekolah di SLB karena mengalami cacat mental sejak lahir? Aku rasa diapun tidak mengerti dengan apa yang aku bicarakan, ketika dia berbicara saja, kata-kata dan kalimat yang ia ucapkan selalu diulangi. Begitu juga ketika dia bertanya padaku, pertanyaan yang sama itulah yang selalu diulaginya, tak tau apa maksudnya, terkadang aku merasa marah dan terkadang juga aku merasa geli, kemudian tertawa.
Hari ini sudah kulalui dengan berbagai kegiatan rutinku setiap hari seperti biasa, mataharipun mulai menuju ke tempat persembunyianya kembali, dengan digantikan oleh munculnya bintang-bintang dan bulan.
 Di balai kursi yang terbuat dari kayu ber alaskan tikar di samping rumahku, aku dan ibuku serta adikku yang duduk di pangkuan ibuku duduk disana sambil memandangi keindahan malam. Hembusan angin seakan mengajakku berbincangbincang dengan ibuku.
 “Buk, bahagia sekali ya keluarga tetangga sebelah itu..”gumamku mengajak ibu bicara.
 “yang mana yu?, bahagia gimana?”, tanya ibuk seakan tidak tau.
 “itu loh buk, tetengga sebelah, yang tinggalnya di rumah apa istana itu...., gede banget ya buk, abis itu mobil nya banyak, banyak uang, apalagi mereka hanya mempunyai satu orang anak, nggak habis-habis kali ya duitnya buk, gimana tidak, mereka hanya mencari uang untuk satu orang anak cacat mental yang tidak mempunyai masa depan, ya.. tidak mungkin lah mau di sekolahkan tinggi-tinggi”, tanyaku akrab.
 “ yu ... yu...., maksud kamu apa coba ,mau melas-melas sama ibuk?, apa kamu iri dengan mereka?”,jawab ibuk dengan membalikkan pertanyaan lagi dengan maksud menyinggungku.
 “he...he ..., maksud Ayu nggak gitu buk, Ayu cuma kagum aja. Ahh ibuk ni...” jawabku dengan gelagat malu.
 “Yu, coba kamu lihat lebih dalam lagi keluarga itu, selama ini tentu kamu melihatnya hanya sekilas kan?” jawab ibu singkat sambil memandang bintang.
 “maksud ibuk gimana?, gini ya buk, coba ibuk perhatiin mereka jika di bandingkan dengan kita, seperti langit dan bumi rumah kita seperti gubuk, tak berpagar, berlantaikan tanah dan berdindingkan pasir kasar apalagi ibuk sama bapak mempunyai empat orang anak dan mau lima malah, kami semua tentunya akan sekolah tinggi dan memerlukan biaya yang sangat besar, pasti ibuk sama bapak letih harus bekerja keras mati-matian dan banting tulang demi untuk mendapatkan uang untuk menafkahi kami dan membiayai sekolah kami selama ini, semua serba kekurangan kan buk?”, tanyaku mengeluh.
“Yu, coba kamu perhatiin lebih dalam lagi, tetangga kita itu ingin sekali mempunyai anak yang bisa meneruskan karirnya dan membuat mereka bahagia, walaupun setiap hari mereka pergi kerja membawa mobil ke kantor berangkat pagi pulang petang, coba kamu fikir apa alasan mereka bekerja sedangkan anak satu-satunya tidak memiliki masa depan, pastinya mereka selalu menyimpan kesedihan dalam setiap kegiatan yang mereka lakukan, walaupun mereka mengangkat Bibi adikmu sebagai anak mereka, tapi kan berbeda sekali jika mereka mempunyai anak dari darah daging mereka sendiri yang tidak mengalami cacat mental layaknya anak mereka”, jelas ibuk sambil meng elus-elus kepala adiku yang tengah dipangkunya sedari tadi.
Mendengar perkataan ibuk tadi aku terdiam seraya berfikir dan berkata dalam hati, “kasihan juga ya mereka, tidak ada gairah dan dorongan dalam melakukan setiap aktivitas dalam hidup sehari harinya”. Mendengar penjelasan ibuk, aku kagum sekali dengan tetanggaku itu, dengan ujian yang tuhan berikan, mereka mampu menghadapinya hingga anaknya remaja dan hingga usia mereka sekarang yang sudah tidak muda lagi.
“Yu...!”,terdengar seperti suara ayahku.
 “Ayu..”, kedua kalinya suara itu terdengar, ya memang itu suara ayah ku, yang terdengar dari dalam.
 “Yu, itu bapak mu manggil, awas loh.. nanti keluar tanduknya..!” gumam ibuk mengejek.
 “hehe.. iya buk, buk aku kedalam dulu ya..” jawabku sambil beranjak dari balai tempatku duduk.
”iya pak, ada apa?”,tanyaku mendekati bapak.
 “Yu, tolong pinjem pompa di tetangga sebelah ya, bapak mau pergi ke tempat pak RT,tapi ban motornya kempis, kamu pinjemin sebentar ya..”, bujuk bapak sambil melihat ban motor yang kempis.
“Ok pak, siap!!!!”, sahutku dengan penuh semangat.
 “yu..!!” ayahku memanggil lagi. “ada apa pak”, jawabku bingung.
 “hati-hati awas di belakang” ejek ayah seperti biasa.
 “ahh. Bapak ni...kirain apaan tadi”sahutku sambil tertawa dan lari langsung menuju rumah istana itu.
Akupun sampai di depan pagar istana, “Assalamualaikum....” beberapa kali aku mengucap salam di depan gerbang besar tertutup yang sepertinya gerbang itu tidak dikunci. Tapi tidak ada jawaban, wajar saja di dalam istana sebesar itu mana mungkin terdengar suaraku yang sedari tadi memanggil, ya memang sih tidak keras. Dari pada aku teriak-teriak tidak karuan di luar pagar, lebih baik aku masuk dan mengucap salam kembali di pintu depan.
 “Ass..”, belum selesai aku mengucap salam, tiba-tiba ihsan keluar dari balik pintu. “san, ada ayah nggak?” tanyaku dengan cepat takut ayahku nunggu lama di rumah. Tapi Ihsan tidak menjawab, aku putuskan untuk masuk dan bertanya kepada ayah. Di dalam rumah sang ayah sibuk mengetik dengan pekerjaanya, sang ibu duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.
 Aku bingung dengan sikap keluarga ini, tidak ada senda gurau sedikitpun antara mereka, yang ada hanya kesibukan masing-masing, bahkan ihsan di luar dan aku mau pinjem pompa yang sudah berada di dalam rumah mereka saja mereka tidak tahu. Ku hampiri sang ayah yang berada di kursi depan.
 “Assalamualaikum pak..mm.. boleh pinjem pompa motor nggak?”, tanyaku perlahan dengan maksud tidak mengganggu bapak yang sedang sibuk.
 “..eh Ayu,, oh iya, boleh, ada di belakang ambil saja, maaf yu bapak lagi sibuk,, Ayu ambil sendiri ya....” jawab bapak, yang sepertinya merasa tidak enak.
 “oh, iya pak nggak pa pa,,, Ayu ambil ya pompanya..”, jawabku lagi sambil menuju belakang mengambil pompa.
 “pak, ini pompanya pinjem dulu ya,, Ayu bawa pulang, mau mompa ban motor bapak dirumah, katanya mau pergi, tapi ban motornya kempis”.
 “iya.. iya...bawa saja ”, jawab sang bapak.
“terimakasih pak..”, akupun pulang dengan membawa pompa di tangan ku.
 Sesampai dirumah, aku memberikan pompanya ke bapak. “pak..., ni pompanya, ma’af lama menunggu...hehe”, sambil memberi pompanya ke bapak.
Selepas pompa itu aku berikan, akupun menuju ke kamar, karena haripun sudah larut malam, di atas ranjang tempat tidurku, aku merebahkan tubuh melepas penat seharian.
Belum bisa tidur, aku berfikir ternyata benar ucapan ibu tadi. Didalam rumah seluas istana itu, tidak ada sedikitpun senda gurau, tawa canda seperti di rumahku bahkan nyaris tidak ada cakap-cakap yang terjadi disana. Selama inir, di setiap helaan nafasku, aku selalu mengeluh, iri, tafakur, dan tidak pernah bersyukur dengan apa yang telah aku miliki. Ternyata selama ini aku salah, kebahagiaan sesungguhnya bukanlah hanya sekedar dari kemewahan dan semua yang kita punya tercukupi saja. Kebahagiaan sesungguhnya adalah disaat semua canda, tawa, tangis, kasih sayang, dan kesederhanaan tercampur menjadi satu yang disebut dengan cinta.

Cerpen karya: Rahayu Ningsih

>